Hukum Isbal
Oleh Syaikh Alwi bin Abdul Qadir as Segaf
السؤال:
ما حكم إسبال الثياب بدون خيلاء فقد سمعت أحد المشايخ يقول إنه جائز؟ وهل هناك فرق بين الثوب والبنطلون والسراويل؟
Pertanyaan, “Apa hukum isbal jika tanpa maksud menyombongkan diri karena aku pernah mendengar ada ulama yang membolehkannya? Adakah perbedaan antara jubah, pantalon dan celana panjang dalam masalah isbal?
الجواب:
الحمد لله
اتفق العلماء على حرمة إسبال الثوب خيلاءً واختلفوا إذا لم يكن ذلك من باب المخيلة والتكبر على قولين:
Jawaban, “Seluruh ulama sepakat akan haramnya isbal jika karena maksud menyombongkan diri namun para ulama berselisih pendapat jika isbal dilakukan tanpa maksud menyombongkan diri. Ada dua pendapat dalam masalah ini.
الأول: الجواز مع الكراهة وهو قول أغلب أتباع المذاهب الأربعة
الثاني: التحريم مطلقاً وهو رواية عن الإمام أحمد خلاف المشهور عنه،
Pendapat pertama memakruhkan perbuatan tersebut. Inilah pendapat mayoritas pakar fikih dari empat mazhab.
Pendapat kedua melarang isbal secara mutlak, meski tanpa maksud menyombongkan diri. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad namun bukan pendapat beliau yang masyhur.قال ابن مفلح في (الآداب الشرعية 3/492): (قال أحمد رضي الله عنه أيضاً: ما أسفل من الكعبين في النار لا يجر شيئاً من ثيابه. وظاهر هذا التحريم)أ.هـ
Ibnu Muflih dalam al Adab al Syar’iyyah 3/492 mengatakan bahwa Imam Ahmad juga pernah mengatakan, “Kain yang berada di bawah mata kaki itu di neraka. Tidak boleh menyeret kain sama sekali”. Perkataan Imam Ahmad ini menunjukkan bahwa beliau berpendapat haramnya isbal secara mutlak.
واختاره القاضي عياض وابن العربي من المالكية، ومن الشافعية الذهبي ومال إليه ابن حجر، وهو أحد قولي شيخ الإسلام ابن تيمية وهو قول الظاهرية وبه قال الصنعاني ومن المعاصرين ابن باز والألباني وابن عثيمين وغيرهم وهو ما تؤيده الأدلة،
Pendapat yang mengharamkan isbal secara mutlak adalah pendapat yang dipilih oleh al Qadhi ‘Iyadh dan Ibnul Arabi dari kalangan ulama bermazhab Maliki. Adz Dzahabi yang bermazhab Syafii juga memilih pendapat ini. Inilah pendapat yang dicenderungi oleh Ibnu Hajar, salah satu dari dua pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, pendapat mazhab Zhahiri dan ash Shan’ani. Sedangkan diantara ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Ibnu Baz, al Albani, Ibnu Utsaimin dll. Inilah pendapat yang didukung oleh berbagai dalil.
والواجب فيما ما يتنازع فيه الناس أن يرد إلى الكتاب والسنة، قال الله تعالى : (فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا) النساء/59 .
Yang menjadi kewajiban kita ketika terjadi perselisihan adalah mengembalikan hukum permasalahan yang diperselisihkan kepada al Qur’an dan sunnah. Allah berfirman yang artinya, “Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS an Nisa’:59).
والأدلة على التحريم واضحة وصريحة منها: حديث أبي هريرة رضي الله عنه مرفوعاً: (ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار) رواه البخاري،
Dalil yang menunjukkan haramnya isbal secara mutlak adalah dalil yang tegas dan jelas. Di antaranya adalah dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kain sarung yang berada di bawah mata kaki itu di neraka” (HR Bukhari).
وحديث حذيفة بن اليمان رضي الله عنه قال : (أخذ رسول الله صلى الله عليه و سلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال: هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين)رواه أحمدوالترمذي وهو حديث صحيح، وغيرها من الأحاديث
Dari Hudzaifah bin al Yaman, beliau berkata bahwa Rasulullah memegang tengah betisku atau betisnya lalu bersabda, “Inilah tempat ujung sarung. Jika engkau tidak mau maka boleh jika lebih bawah lagi namun kain sarung itu tidak memiliki hak untuk berada di kedua mata kaki” (HR Ahmad dan Tirmidzi, sahih). Masih ada hadits-hadits lain yang semisal.
وسبب صرف هذه الأدلة الصريحة الواضحة عن التحريم عند من لا يقول به وجود أحاديث علقت التحريم بالخيلاء كحديث: (لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء) رواه البخاري ومسلم،
Ulama yang tidak mengharamkan isbal secara mutlak mengatakan bahwa yang menjadi sebab dipalingkannya berbagai dalil yang jelas dan tegas yang menunjukkan hukum haram kepada hukum makruh jika tanpa sombong adalah adanya berbagai dalil yang mengaitkan hukum haram untuk isbal dengan kesombongan sebagaimana hadits, “Allah tidak memandang orang yang menyeret kainnya (ujung kainnya sampai ke tanah) karena sombong” (HR Bukhari dan Muslim).
فقالوا تلك أحاديث مطلقة وهذه مقيدة فحملوا المطلق على المقيد، وهذا غير صحيح لأن حمل المطلق على المقيد إنما يكون إذا اتحدا في السبب والحكم وأما إذا اختلفا فالأصوليون متفقون على امتناع حمل أحدهما على الآخر،
Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits yang melarang isbal tanpa syarat itu ditafsirkan dengan hadits-hadits yang melarang isbal dengan bersyarat.
Pendapat ini tidak benar karena memahami dalil yang tidak bersyarat dengan dalil yang bersyarat itu hanya berlaku jika sebab dan hukum yang terkandung dalam kedua dalil tersebut sama. Jika sebab dan hukum berbeda maka para pakar ilmu usul fiqh bersepakat tidak adanya hal di atas.
وهنا عندنا سببان وعقوبتان:
الإسبال وعقوبته النار
الجرّ – وهو قدر زائدٌ عن الإسبال- وعقوبته ألا ينظر الله إليه
Dalam hal ini ada dua sebab dan ada dua hukuman:
1. isbal (posisi kain yang berada di bawah mata kaki) hukumannya adalah neraka
2. menyeret kain- ingat menyeret kain itu lebih parah dari pada isbal- hukumannya adalah Allah tidak akan memandangnya.
أما القول بأنهما عقوبة واحدة وأن من دخل النار لم ينظر الله إليه ومن لم ينظر الله إليه فمأواه النار فغير صحيح بل هما عقوبتان ولو كان أحدهما يستلزم الآخر، ونظير هذا في القرآن الكريم كثير، كقوله تعالى {وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا} وغيرها من الآيات، وكذا السنة المطهرة.
Ada yang berpendapat mengatakan bahwa dua hukuman di atas sebenarnya adalah satu hukuman saja. Artinya orang yang masuk neraka tentu tidak akan Allah pandang dan sebaliknya orang yang tidak Allah pandang tentu tempat kembalinya adalah neraka. Anggapan ini adalah anggapan yang tidak benar. Yang benar, dua hal di atas adalah dua hukuman yang berbeda meski yang satu itu akan menyebabkan munculnya hal kedua. Hal semacam ini banyak terdapat dalam al Qur’an. Diantaranya adalah firman Allah yang artinya, “Barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka selamanya, Allah murka kepadanya, melaknatnya dan Allah siapkan untuknya siksaan yang besar”. Dalam hadits juga terdapat banyak hal yang semisal ini.
ومما يؤيد خطأ حمل المطلق على المقيد حديث العلاء بن عبد الرحمن عن أبيه قال سألت أبا سعيد الخدرى عن الإزار فقال على الخبير سقطت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج – أو لا جناح – فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من الكعبين فهو فى النار، من جرَّ إزاره بطراً لم ينظر الله إليه) أخرجه أحمد وأبو داود و ابن ماجه ومالك. وهو حديث صحيح، صححه النووي وابن دقيق العيد والألباني وغيرهم.
Di antara yang menunjukkan tidak benarnya membawa dalil yang mutlak kepada dalil yang bersyarat dalam masalah ini adalah hadits al ‘Ala bin Abdurrahman dari ayahnya. Sang ayah yaitu Abdurrahman bertanya kepada Abu Said al Khudri tentang kain sarung. Abu Said mengatakan, “Engkau bertanya kepada orang yang memang benar-benar mengetahuinya. Rasulullah bersabda, “Ujung sarung seorang muslim itu sampai pertengahan betis dan tidak mengapa jika lebih rendah lagi asalkan antara pertengahan betis hingga kedua mata kaki. Kain yang di bawah mata kaki itu di neraka. Siapa yang menyeret kainnya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya”. (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Malik, sahih. Hadits ini dinilai sahih oleh Nawawi, Ibnu Daqiq al Ied, al Albani dll).
فهذا الخبير بحكم إسبال الإزار رضي الله عنه يروي حديثاً عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه السببان والعقوبتان وقد فرق بينهما.
Sahabat yang memang benar-benar mengetahui hukum isbal ini meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah yang di dalamnya disebutkan adanya dua sebab dan dua hukuman terkait dengan isbal. Nabi dalam hadits ini membedakan dua jenis isbal.
كما أن إسبال الثوب وجره يستلزم الخيلاء كما نص على ذلك النبي صلى الله عليه وسلم بقوله لجابر بن سليم رضي الله عنه : (إياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة) رواه أحمد وأبو داود وهو حديث حسن.
Isbal dan menyeret kain-yaitu kain yang sampai menyentuh tanah- itu akan membuahkan kesombongan sebagaimana yang Nabi jelaskan dalam sabdanya kepada Jabir bin Salim, “Hindarilah isbal karena isbal itu menyebabkan kesombongan padahal Allah tidak mencintai kesombongan” (HR Ahmad dan Abu Daud, hasan).
قال الحافظ ابن حجر في الفتح (10/264): ( وحاصله : أن الإسبال يستلزم جرَّ الثوب، وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء ، ولو لم يقصد اللابس الخيلاء ، ويؤيده : ما أخرجه أحمد بن منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث رفعه : ( وإياك وجر الإزار ؛ فإن جر الإزار من المَخِيلة ).
Dalam Fathul Bari 10/264 al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan, “Simpulan dalam masalah ini, isbal adalah sarana yang menyebabkan orang itu menyeret kainnya sedangkan menyeret kain itu menyebabkan kesombongan meski pada awalnya pelaku tidak bermaksud untuk menyombongkan diri. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’ dengan sanad yang berbeda dari Ibnu Umar di tengah-tengah sebuah hadits yang marfu’. Dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Hindarilah menyeret kain karena menyeret kain itu menyebabkan kesombongan’”.
وقال تعقيباً على حديث أم سلمة رضي الله عنها لما سألت النبي صلى الله عليه وسلم: فكيف يصنعن النساء بذيولهن؟ حيث فهمت أن الزجر عن الإسبال مطلقاً ولو من غير خيلاء: (ويستفاد من هذا الفهم التعقيب على من قال إن الأحاديث المطلقة في الزجر عن الإسبال مقيدة بالأحاديث الأخرى المصرحة بمن فعله خيلاء … ووجه التعقيب أنه لو كان كذلك لما كان في استفسار أم سلمة عن حكم النساء في جر ذيولهن معنى بل فهمت الزجر عن الإسبال مطلقا سواء كان عن مخيلة أم لا) (فتح الباري 10/259)
Dalam Fathul Bari 10/259 Ibnu Hajar membawakan hadits dari Ummu Salamah yang bertanya kepada Nabi mengenai bagaimanakah yang harus dilakukan oleh para wanita dengan ujung kainnya. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa Ummu Salamah memahami bahwa larangan isbal itu bersifat mutlak meski tanpa niat menyombongkan diri. Setelah itu Ibnu Hajar mengatakan, “Pemahaman Ummu Salamah ini bisa dijadikan bantahan atas orang yang mengatakan bahwa hadits larangan isbal yang bersifat mutlak itu ditafsiri dengan hadits larangan isbal yang bersyarat yang tegas mengatakan bahwa isbal yang terlarang adalah isbal dengan niat menyombongkan diri. Penjelasannya, jika memang pendapat di atas benar tentu Ummu Salamah tidak perlu meminta penjelasan kepada Nabi tentang wanita yang menyeret ujung kain mereka. Ummu Salamah memahami larangan isbal itu bersifat mutlak baik karena kesombongan ataupun tanpa niat menyombongkan diri”.
وقال ابن العربي في (عارضة الأحوذي) (7/238) : (لا يجوز لرجل أن يجاوز بثوبه كعبه ويقول: لا أتكبر فيه ؛ لأن النهي تناوله لفظاً ، وتناول علته ، ولا يجوز أن يتناول اللفظ حكماً فيقال إني لست ممن يمتثله لأن العلة ليست فيَّ ، فإنها مخالفة للشريعة ، ودعوى لا تسلم له ، بل مِن تكبره يطيل ثوبه وإزاره فكذبه معلوم في ذلك قطعًا)
Dalam ‘Aridhah al Ahwadzi 7/238, Ibnul Arabi al Maliki mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh menjulurkan kainnya sehingga melebihi mata kaki lalu mengatakan bahwa aku isbal namun tidak sombong karena redaksi larangan dan makna dibalik larangan mencakup perbuatan tersebut. Ketika redaksi suatu dalil mencakup suatu perbuatan lalu ada yang mengatakan bahwa aku tidak termasuk orang yang harus mentaati dalil tersebut karena makna larangan tidak terdapat pada diriku. Pernyataan ini menyelisihi syariat dan klaim yang tidak bisa diterima. Bahkan termasuk bentuk kesombongan adalah perbuatannya memanjangkan kainnya sehingga kebohongannya dalam pernyataan di atas adalah suatu yang sangat jelas”.
وقال الذهبي في (سير أعلام النبلاء) (3/234) : رداً على من يسبل إزاره ويقول لا أفعل ذلك خيلاء: (وكذلك ترى الفقيه المترف إذا ليم في تفصيل فَرَجِيَّة (ثوب واسع فضفاض كان ملبوس العلماء والقضاة) تحت كعبيه ، وقيل له : قد قال النبي صلى الله عليه وسلم : (ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار) ،
Dalam Siyar A’lam an Nubala 3/234 Adz Dzahabi membantah orang yang isbal lalu mengatakan bahwa aku melakukan hal tersebut tanpa niat menyombongkan diri dengan mengatakan, “Demikianlah anda lihat seorang ahli fikih yang hidup mewah jika memakai pakaian khas ulama dia julurkan hingga di bawah kedua mata kakinya bila dia diingatkan dengan sabda Nabi, “Kain yang berada di bawah mata kaki itu di neraka”
يقول : إنما قال هذا فيمن جر إزاره خيلاء ، وأنا لا أفعل خيلاء ؛ فتراه يكابر ، ويبرئ نفسه الحمقاء ، ويعمد إلى نص مستقل عام ، فيخصه بحديث آخر مستقل بمعنى الخيلاء،
Dia beralasan bahwa hadits tersebut berlaku untuk orang yang menyeret kainnya karena sombong sedangkan aku tidaklah melakukannya karena sombong. Anda lihat dia menyombongkan diri dan dia membersihkan dirinya yang diliputi kebodohan. Dia ambil dalil umum yang berdiri sendiri lalu dia khususkan dengan dalil lain yang berdiri sendiri yang mengaitkannya isbal dengan kesombongan.
ويترخص بقول الصديق: إنه يا رسول الله يسترخي إزاري؛ فقال : ( لست يا أبا بكر ممن يفعله خيلاء ) !فقلنا : أبو بكر رضي الله عنه لم يكن يشد إزاره مسدولا على كعبيه أولاً ، بل كان يشده فوق الكعب ، ثم فيما بعد يسترخي . وقد قال عليه السلام : ( إزرة المؤمن إلى أنصاف ساقيه ، لا جناح عليه فيما بين ذلك وبين الكعبين ) ، فمثل هذا في النهي من فصّل سراويل مغطيا لكعابه ، ومنه طول الأكمام زائدا، وكل هذا من خيلاء كامن في النفوس) انتهى
Dia beralasan dengan perkataan Abu Bakar ash Shidiq, “Wahai Rasulullah, sarungku melorot”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau wahai Abu Bakr tidaklah termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan”. Kami katakan bahwa Abu Bakr tidaklah sejak awal memakai sarung dalam keadaan terjulur sampai mata kaki. Yang terjadi, Abu Bakr memakai sarung dalam kondisi ujung sarung di atas mata kaki kemudian melorot dengan sendirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ujung sarung seorang mukmin itu hingga pertengahan betis namun jika lebih diturunkan asalkan sebelum mata kaki”. Semisal dengan larangan isbal bagi kain sarung adalah orang yang memakai celana panjang hingga menutupi mata kakinya. Termasuk isbal yang terlarang adalah panjang lengan baju yang terlalu berlebihan. Ini semua dikarenakan kesombongan yang terpendam di dalam hatinya”.
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية تعقيباً على من جعل الإسبال هو السدل: (وإن كان الإسبال والجر منهياً عنه بالاتفاق والأحاديث فيه أكثر، وهو محرم على الصحيح، لكن ليس هو السدل.) (اقتضاء الصراط المستقيم 1/130)
Ibnu Taimiyyah membantah orang yang menyamakan isbal dengan sadl dengan mengatakan, “Meski isbal dan menyeret kain adalah terlarang dengan sepakat ulama hadits-hadits yang membahasnya banyak dan isbal adalah haram menurut pendapat yang benar namun isbal itu beda dengan sadl” (Iqtidha’ ash Sirat al Muustaqim 1/130).
وقال الصنعاني في مقدمة كتابه (استيفاء الأقوال في تحريم الإسبال على الرجال): (وقد دلَّت الأحاديث على أن ما تحت الكعبين في النار ، وهو يفيد التحريم ، ودل على أن من جَرّ إزاره خيلاء لا يَنْظر الله إليه ، وهو دال على التحريم ، وعلى أن عقوبة الخيلاء عقوبة خاصة هي عدم نظر الله إليه ، وهو مما يُبْطل القول بأنه لا يحرم إلا إذا كان للخيلاء)
Ash Shan’ani dalam mukadimah buku beliau, Istifa’ al Awal fi Tahrim al Isbal ‘al ar Rijal yang artinya penjelasan panjang lebar tentang haramnya isbal bagi laki-laki mengatakan, “Terdapat banyak hadits yang menunjukkan bahwa kain yang berada di bawah mata kaki itu di neraka. Ini menunjukkan bahwa hukum hal tersebut adalah haram. Demikian pula terdapat hadits yang menunjukkan bahwa orang menyeret kainnya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa menyeret kain hukumnya haram. Mengingat bahwa hukuman untuk menyeret kain karena sombong adalah hukuman yang berbeda yaitu Allah tidak akan memandangnya maka realita ini membatalkan anggapan bahwa tidak ada isbal yang haram melainkan jika karena kesombongan”.
أما استشهاد بعضهم بفعل أبي بكر الصديق رضي الله عنه وقول النبي صلى الله عليه وسلم له: (إنك لست تفعل ذلك خيلاء) فهو استشهاد في غير محله:
Beralasan dengan perbuatan Abu Bakr ash Shiddiq dan sabda Nabi kepadanya, “Sungguh engkau tidaklah melakukannya karena kesombongan” adalah alasan yang tidak pada tempatnya dengan beberapa alasan:
أولاً: لأن هذا في جرِّ الثوب وحديثنا عن الإسبال والفرق بينهما لا يخفى، وثانياً: هذه تهمةٌ الصديقُ بريءٌ منها فلم يكن رضي الله عنه متعمداً الإسبال بدليل قوله: (إنَّ أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه) فانظر إلى قوله: أحد شقي ثوبي، فهل الإسبال المُتَعَمَّد يكون من شقٍّ واحد؟! وتأمل قوله: إلا أن أتعاهد ذلك منه – أي أرفعه-، وحديثنا عمن يُسبله ابتداءً لا عمن يرفعه كالصديق رضي الله عنه.
Pertama, kasus Abu Bakr adalah terkait dengan menyeret kain sedangkan topik yang kita bahas adalah isbal dan keduanya jelas berbeda.
Kedua, Inilah adalah tuduhan yang Abu Bakr ash Shidiq berlepas diri darinya. Beliau tidaklah isbal dengan sengaja. Buktinya beliau mengatakan, “Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot kecuali jika aku ikat dengan baik”. Lihatlah beliau mengatakan, “Salah satu sisi sarungku”. Apakah isbal yang disengaja hanya pada salah satu sisi sarung saja?! Cermati pula perkataan beliau, “kecuali jika aku mengikatnya dengan baik” artinya aku meninggikannya kembali. Yang kita bahas adalah orang yang memang sejak awal isbal bukan orang yang meninggikan kembali kainnya setelah melorot tanpa sengaja sebagaimana Abu Bakr ash Shidiq.
والخلاصة:
أن إسبال الثوب ومثله البنطال والسراويل إلى ما دون الكعبين محرّم بنص حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم وفعله خيلاء يزيده حرمة
والله أعلم
Kesimpulannya, menjulurnya kain jubah demikian pula pantalon sehingga berada di bawah mata kaki adalah haram berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika hal ini dilakukan karena kesombongan maka derajat keharamannya bertambah”.
Sumber: http://www.dorar.net/art/144
Artikel www.ustadzaris.com
Home |
|
erluaslah Cakrawala Anda Tentang Isbal (2)